sungguh indahnya berbagi dan sungguh indahnya memberi, Ilmu adalah bagian dari sebuah hidayah yang harus dibagi

Selasa, 12 Januari 2016

PERHITUNGAN PENGALAMAN PERSONIL DALAM PEKERJAAN KONTRUKSI BUKAN DIHITUNG LAYAKNYA PERSONIL KONSULTAN

Ada hal  yang menarik yang ingin saya ulas dalam artikel ini, yaitu adanya sebuah permasalahan terkait perhitungan pengalaman pekerjaan personil dalam pekerjaan jasa kontruksi.  sebelumnya mari kita lihat pengertian Kontruksi dan Konsultasi sesuai Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya.
  1. Pasal 1 angka 15 "Pekerjaan Konstruksi adalah seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya.
  2. Pasal 1 angka 16 "Jasa Konsultansi adalah jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir
dari pengertian diatas, sudah sangat jelas perbedaan  output yang dicapai dari kedua jenis pekerjaan tersebut. Kontruksi Outputnya jasa kontruksi itu sendiri dan Jasa Konsultasi outputnya adalah tenaga /personil itu sendiri.
Bagaimana cara menghtung pengalaman pekerjaan personilnya terkait ada Pokja yang meminta pengalaman personilnya dalam waktu yang ditentukan. Contoh dalam pekerjaan kontruksi. 1 Orang SKA muda dengan pengalaman 3 tahun. Apakah pengalamannya dihitung dengan menjumlahkan setiap paket pekerjaan sehingga total penuh jadi satu tahun ataukah setiap pekerjaan yang pernah dilakukan dalam 1 tahun, semisal hanya 3 bulan  adalah dihitung 1 tahun? Ayo kita bahas agar tidak salah faham terus.
  • Pertama yang kita bahas adalah ketentuan penilain personil dalam pekerjaan kontruksi. Didalam Permen PU 31/prt/2015, Penilaian personil : personil inti tingkat Pendidikan, jabatan dalam pekerjaan yang diusulkan, pengalaman kerja, keahlian/ keterampilan,  yang ditempatkan secara penuh,menggunakan data personil inti yang tercantum pada isian kualifikasi
  • kedua personil dalam jasa konsultasi :pengalaman kerja profesional seperti yang disyaratkan dalam KAK, didukung dengan referensi/kontrak sebelumnya. Bagi tenaga ahli yang diusulkan sebagai pemimpin/wakil pemimpin pelaksana pekerjaan (team leader/co team leader) dinilai pula pengalaman sebagai pemimpin/ wakil pemimpin tim. Ketentuan penghitungan pengalaman kerja profesional dilakukan sebagai berikut :
  1. tidak boleh terjadi tumpang tindih (overlap), bila terjadi overlap yang dihitung hanya salah satu,
  2. apabila terdapat perhitungan bulan menurut Pokja ULP lebih kecil dari yang tertulis dalam penawaran, maka yang diambil adalah perhitungan Pokja ULP. Apabila perhitungan Pokja ULP lebih besar dibandingkan dengan yang tertulis dalam penawaran, maka yang diambil adalah yang tertulis dalam penawaran,
  3. apabila jangka waktu pengalaman kerja profesional ditulis secara lengkap tanggal, bulan, dan tahunnya, maka pengalaman kerja akan dihitung secara penuh (kecuali bila terjadi overlap, maka bulan yang overlap dihitung satu kali),
  4. apabila jangka waktu pengalaman kerja profesional ditulis bulan dan tahunnya saja (tanpa tanggal), maka pengalaman kerja yang dihitung adalah total bulannya dikurangi 1 (satu) bulan,
  5. apabila jangka waktu pengalaman kerja profesional ditulis tahunnya saja (tanpa tanggal dan bulan), maka pengalaman kerja yang dihitung hanya 25 % dari total bulannya,
jadi dari ulasan diatas yang diambil dari sisi evaluasi teknis personil sangat sudah jelas perbedaannya. Pada jasa kontruksi, tidak ada aturan atau tata cara harus menilai pengalaman personil seperti perhitungan yang terdapat dalam penilaian personil pada jasa konsultasi.
Jadi sesuai contoh diatas dapat disimpulkan, bahwa pada paket pekerjaan kontruksi, perhitungan pengalaman pekerjaan personil hanya berdasarkan setiap paket pkerjaan yang didapat ( sudah terkontrak ) merupakan pengalaman 1 tahun, walaupun hanya bekerja 3 bulan ataupun kurang dari 3 bulan, itu sudah disamakan 1 tahun, bukan harus di rumuskan kembali dengan rumus sesuai yg terdapat dalam pekerjaan konsultasi, dihitung hari bulan ataupun tahun.


Contoh lain adalah : Dalam LDK diminta pengalaman personil 5 tahun, ada rekanan yang personilnya memiliki pengalaman pekerjaan dari tahun 2010 sampai dengan 2015. Tahun 2010 hanya bekerja 3 bulan, tahun 2011 hanya bekerja 5 bulan, tahun 2012 hanya bekerja 6 bulan , tahun 2013 hanya 3 bulan dan 2015 hanya 4 bulan,  apakah lulus? tentu jawabanya lulus, sepanjang memang benar pengalaman pekerjaannya sesuai dengan jenis pekerjaan yg dipersyaratkan dan ada setiap tahun.

nah bagaimana dengan contoh, dalam satu tahun dia memiliki /pernah mendapat pengalaman pekerjaan 5 paket? jawabnnya adalah tetap dihitung hanya satu pengalaman dalam setahun. itu karena yang diminta dalam LDK adalah pengalamannya setiap tahun, bukan jumlah pertahun.

Jadi sudah sangat jelas perbedaan tata cara perhitungannya, semoga tidak lagi yang gagal faham. Namun kedepan saya sangat menyarankan jangan lagi mempersyaratkan ketentuan pengalaman pekerjaan, Ijasah ataupun persyaratan lain yang sudah ada yang mengaturnya, Cukup dalam pekerjaan kontruksi hanya dipersyaratkan 1 ORANG SKA/SKT memiliki sertifikat SKA/SKT ( jenis keahlian/ktrampilan ) ( Permen PU 9/2013)

Minggu, 27 Desember 2015

SEKILAS RPP PENYUSUNAN HPS ( HARGA PERKIRAAN SENDIRI )

Harga Perkiraan Sendiri
Sesuai Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya ,pasal 66 ayat 1 PPK menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Barang/Jasa, kecuali untuk Kontes/Sayembara dan Pengadaan Langsung yang menggunakan bukti pembelian.  Penyusunan HPS tentunya berkaitan dengan RUP yang sudah dilakukan PA/KPA pada Penyusunan dan penetapan rencana penggangaran dan pada pengkajian KAK. Didalam penyusunan Harga perkiraan sendiri, PPK harus mampu memahami macam  karakteristik HPS ,  mampu membedakan tingkat kerumitan dalam penyusunan HPS .  Selain itu  sesuai Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya pasal 66 ayat 7 ,  PPK dalam memperkirakan biaya HPS dikalkulasikan secara keahliaan dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Penyusunan HPS sering kali pada  saat setelah dilakukan pemilihan , sering terjadi Harga yang terlalu mahal dan harga terlalu murah. Penyusunan Harga HPS terlalu mahal , akan menyebabkan output barang yang di butuhkan sesuai dengan kebutuhan  , namun disisi lain atau diindikasikan menyebabkan keborosan anggaran dan merugikan keuangan Negara ( Markup ), dan Harga yang terlalu murah, menyebabkan kegagalan pada saat pelelangan/pemilihan. Ini sesuai pada pasal 83 Huruf f, Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya “harga penawaran terendah terkoreksi untuk Kontrak Harga Satuan dan Kontrak gabungan Lump Sum dan Harga Satuan lebih tinggi dari HPS, dan pada huruf g “seluruh harga penawaran yang masuk untuk Kontrak Lump Sum diatas HPS” Selain itu  harga harga yang digunakan PPK sebagai dasar penyusunan HPS adalah masih data data harga yang lama. Hal ini sangat tidak sesuai dengan pasal 66 ayat 4 huruf a ,HPS ditetapkan  paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi dan huruf b, paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya proses prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.
Penyusunan HPS seharusnya  dimulai dengan pemahaman yang mendalam atas output barang/jasa yang hendak diadakan. Atas dasar itu, maka dapat disusun item pekerjaan atau langkah langkah yang diperlukan untuk mewujudkan barang/jasa tersebut.
 
Penetapan HPS, Mark up?
 
Bagi Pejabat Pembuat Komitmen sebagai pejabat yang menetapkan HPS ibarat makan buah simalakama, lebih mahal dari harga pasar berpotensi MARK-UP, lebih rendah atau sama dengan harga pasar berpotensi tidak ada yang berminat. Dampaknya adalah adanya gagal lelang dengan kata lain akan memperpanjang waktu pengadaan barang dan jasa.
 
Mengapa PPK menetapkan harga diatas harga pasar?. Berdasarkan pasal 66 ayat 8 Perpres 54 tahun 2010 , Perpres 70 tahun 2012, HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar. Kewajaran yang dimaksud ini tanpa dibatasi nilai tertentu sehingga bagi PPK tentu secara aturan tidak salah jika menambah nilai keuntungan dengan prosentase atau nominal tertentu.

Jika semata-mata untuk menambah nilai keuntungan bagi penyedia tentu ini alasan yang tidak tepat, tetapi harusnya penambahan nilai keuntungan lebih ditekankan untuk menambah minat penyedia barang dan jasa untuk berkompetisi dalam pengadaan barang/jasa.

Misalnya berdasarkan daftar harga yang di publikasikan oleh toko online bhinneka.com , harga komputer yang tertera untuk satu spesifikasi tertentu seharga Rp.12.000.000,-. Berdasarkan harga tersebut, apabila PPK yang bertugas pada satuan kerja berlokasi di jakarta, akan menyusun HPS untuk pengadaan 200 unit komputer, berapa nilai HPS yang akan ditetapkan?
 
Rumus sederhana untuk menghitung HPS adalah
Harga satuan = analisa harga + keuntungan wajar
HPS sebelom PPN = Harga satuan x volume
HPS = HPS sebelom PPN + (HPS sblm PPN x 10%)
 
Berdasarkan rumusan tersebut, penyusunan HPS harus memperhitungkan komponen keuntungan wajar. Berapa batasan keuntungan yang wajar? Tentu PPK menetapkan dengan pertimbangan menghindari markup dan kurangnya minat penyedia. Definisi Mark-upadalah perbedaan antara biaya untuk menyediakan produk atau jasa, dengan harga jualnya. Tidak sama dengan marjin laba.
 
Pada dasarnya daftar harga yang dipublikasikan oleh sumber informasi yang berasal dari toko tentu sudah terdapat unsur keuntungan. Apabila dalam penyusunan HPS ditambah lagi dengan keuntungan, berdasarkan definisi diatas, dapat masuk dalam kategori markup.
Jika PPK menetapkan nilai keuntungan yang wajar adalah 5% dari harga yang dipublikasikan, berdasarkan contoh kasus diatas maka total HPS adalah :
Contoh :
 
Harga satuan = 12.000.000 + (5%x12.000.000)
Harga satuan = 12.000.000 + 600.000
Harga satuan = 12.600.000,-
HPS sebelum PPN = 12.600.000 x 200 unit
HPS = 2.520.000.000
Dalam komponen HPS terdapat nilai uang sebesar Rp.600.000,- x 200 = 120.000.000,- sebagai nilai keuntungan disediakan untuk calon penyedia barang. Nah bagaimana cara kita memandang nilai kewajaran, margin 5% atau total nilai tambahan keuntungan Rp.120.000.000,-.
Bersalahkah PPK
 
Dalam batasan ini apakah PPK bersalah dalam menetapkah HPS ? berdasarkan analisa saya, penetapan HPS tersebut tidak salah, karena PPK juga harus mempertimbangkan minat dari calon penyedia barang/jasa untuk mengikuti proses pelelangan. Tentu dengan asumsi bahwa dalam proses pelelangan tidak terjadi adanya KKN antara para penyedia barang dan jasa. Dengan kata lain terjadi persaingan yang sehat dan sempurna antar calon penyedia barang dan jasa dalam mengajukan penawaran.
Apabila harga ditetapkan terlalu rendah sehingga calon penyedia barang/jasa tidak berminat akan berdampak pada gagalnya pelelangan. Tentu hal ini berdampak pada bertambahnya alokasi waktu untuk pelelangan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

 

Jumat, 27 November 2015

BARANG DISCONTINUE PADA KONTRAK LUMPSUN, APAKAH DAPAT DILAKUKAN PERUBAHAN KONTRAK?

Permasalahan Permasalahan diatas kerap sekali akan terjadi/pernah terjadi pada pengadaan barang, dimana spesifikasi barang yang ditawarkan oleh pemenang, pada saat pelaksanaan atau setelah kontrak ,barang tersebut ternyata tidak lagi di produksi dan tidak terdapat lagi dipasaran. Ini merupakan salah satu tanggung jawab Penyedia ke PPK, dan PPK pun sangat sulit untuk memutuskannya dan tentunya muncul keraguan PPK " Apakah diperkenankan merubah kontrak dengan kontrak lumpsun? "
Mari kita sama sama membahas keraguan PPK.

Pada Peraturan Presiden Nomer 70 Tahun 2012 pasal 51 ayat 1 " Kontrak Lumspun merupakan kotrak pengadaan barang dan jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak, dengan ketentuan sebagai berikut :
  • Jumlah Harga pasti dan tetap serta tidak dimungkinkan adanya penyesuain harga
  • Semua resiko sepenuhnya ditanggung penyedia
  • pembayaran didasarkan pada keluaran produk yang dihasilkan sesuai dengan isi kontrak
  • sifat pekerjaan berorientasi pada keluaran output
  • total harga penawaran mengikat
  • tidak adanya pekerjaan tambah/kurang
Sesuai pasal diatas, sepertinya PPK akan menguatkan dirinya dengan kalimat apapun yang terjadi, penyedia harus berusaha untuk mendapatkan atas barang yang ditawarkan pada saat penawaran, yaitu " semua resiko sepenuhnya ditanggung penyedia " ( kasian juga ya penyediannya :d) atau pengertian lain, jika tidak dapat memberikan barang sesuai dengan apa yang ditawarkan, maka konsukuensinya penyedia putus kontrak dan di blacklist, sesuai pasal 93 ayat 1 ( Pemutusan kontrak )
Dasar PPK juga diperkuat dengan pasal 87 ayat 1 huruf 1 yaitu "dalam hal terdapat perbedaan antara kondisi lapangan pada saat pelaksanaan , dengan gambar, spesifikasi teknis yang ditntukan dalam dokumen kontrak , PPK bersama sama penyedia dapa melakukan perubahan "yaitu :
  • menambah atau mengurangi volume pekerjaan
  • menambah /mengurangi jenis pekerjaan
  • mengubah spesifikasi teknis pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan
  • mengubah jadwal pelaksanaan
ketentuan pada pasal 1 diatas dikecualikan untuk kontrak lumpsun yaitu sesuai pasal 87 ayat 1 huruf 1a yaitu " perubahan kontrak dimaksud pada ayat 1 hanya berlaku untuk pekerjaan yang mengunakan kontrak satuan /kontrak gabungan pada harga satuan. Nah semakin kuatkan dasar PPK untuk tidak merubah kontrak, dengan menggunakan pasal 87 ayat 1 khususnya pada ayat "

Mengubah spesifikasi teknis "

Nah dengan berbagai dasar ,PPK pun tidak menyetujui perubahan kontrak terhadap keinginan penyedia untuk merubah barang yang ditawarkan, walaupun  dengan harga tetap dan kualitas yang setara, yang mana intinya semua pihak yang akan dirugikan, yaitu tentunya penyedia tidak dapat melaksanakan pekerjaan dengan tuntutan Blacklist dan PPK tidak dapat barang sesuai kebutuhannya.

Untuk menghindari hal tersebut, mari kita membahasnya dengan berbagai pengertian pengertian sesuai pasal 51 dan pasal 87 diatas. Yang pertama kita mengacu ke pasal 51 khusus ayat yang berkaitan dengan kasus diatas. Ayat yang berhubungan dengan pasal 51 tentunya pada ayat f " tidak adanya pekerjaan tambah /kurang " Merubah barang dari spesifikasi awal tentunya bisa dikatakan menambah/mengurangi jenis pekerjaan, karena sepastinya ada perubahan spesifikasi pada barang yang baru sebagai peganti barang yang sudah ditawarkan pada penawaran ( pasal 87 huruf c " merubah spesifikasi teknis ). Yang harus diperjelas dari pasal tersebut, apakah berlaku pada setiap kondisi? sebelumnya, tentunya yang kita harus pahami fisolofi dari pasal tersebut adalah, ketika pada saat kondisi normal, penyedia meminta kepada PPK merubah spesifikasi atau menambah/mengurangi pekerjaan, nah ini yang dilarang terkait pada pasal 51 dan pasal 87. Nah bagaiaman dengan kondisi barang yang sesuai permasalahan diatas terkait tidak adanya lagi barang dipasara dan diproduksi lagi? tentunya yang namanya PPK tidak serta merta menyetujui permintaan penyedia bukan? bagaimana bila penyedia dapat memberikan bukti valid terhadap alasan diatas dibuktikan dengan surat surat dari yang berwenang ( dari produsen/dari SK kementrian membawahi barang di bidang tersebut), apakah PPK tetap memaksa agar penyedia berusaha mendapatkan barang bagaimanapun caranya atau jika tidak bisa akan dilakukan pemutusan kontrak?

Dalam pengadaan barang tentu bisa saja mengalami keadaan yang dimana tidak di bisa diprediksi sama skli pada saat pelaksanaanya seperti pekerjaan kontruksi atau sering disebut keadaan KAHAR. semisal pada pekerjaan kontruksi kontrak lunspum , dimana pada salah satu bahan, angap saja Semen merk Roda tiga tidak lagi beredar dipasaran dan tidak lagi dproduksi. Apakah PPK akan tetap meminta Penyedia untuk tetap menggunakan Semen roda tiga? jika iya, sepastinya yang namanya pekerjaan kontruksi , bahan termasuk menjadi satu kesatuan pekerjaan kontruksi, dan bilamana PPK tetap meminta Semen roda tiga,,maka pekerjaan sama skli tidak akan dapat diselesaikan.

Sesuai Pepres  54 tahun 2010  pasal 91 ayat 2 yang sudah dihapus pada Pepres 4 Tahun 2015, bahwasannya kategori Kahar sudah dihapus. Jadi keadaan Kahar tidak lagi terikat hanya pada, bencana Alam, bencana Non alam, bencana sosial, pemogokan, kebakaran dan ganguan industri. Namun keadaan Kahar sudah lebih diperlebar sesuai dengan penjelasan pasal 91 pepres 4 tahun 2015 . Padal Pasal 91 ayat 1 berbunyi " suatu keadaan yang terjadi diluar kehendk para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelomnya, sehingga kewajiban dlm kontrak tidak dapat dipenuhi " dan pada penjelasannya menyatakan " Contoh keadaan kahar adalah TIDAK TERBATAS, pada bencana alam, bencana non alam, bencana sosial, pemogokan, kebakaran atau gangguan industri lainnya, sebagaiamana dinyatakan dalam keputusan menteri keuangan dan menteri teknis terkait.

Nah dari penjelesan pasal tersebut dengan kalimat TIDAK TERBATAS, dapat dijadikan alasan bahwa barang yang tidak lagi ada dipasaran/diproduksi lagi yang di buktikan dengan data data pendukung/valid, bisa dikategorikan suatu keadaan KAHAR. Jadi PPK dapat menggunakan pasal ini untuk menyetujui permintaan penyedia dalam hal menganti barang , sepanjang harga tetap dan kualitas yang setara, dengan melakukan Perubahan Kontrak.

Semoga apa yang saya ulas ini, menjadi bahan pertimbangan, dalam pekerjaan yang menggunakan kontrak lumpsun.
I Made Heriyana

Minggu, 22 November 2015

PERANAN POKJA ULP PADA KAJI ULANG RUP ,KAJI ULANG RPP DAN PEMBERIAN PENJELASAN TERKAIT PERUBAHAN DAN USULAN

Tulisan ini muncul karena ada beberapa pertanyaan dan tata cara pemahaman yang berbeda saat kapankah Pokja ULP dapat mengusulkan perubahan spesifikasi dan HPS sesuai pasal 17 ayat 3 Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahanya.  Ada sebagian yang berpendapat, bahwa Pokja ULP hanya mengusulkan perubahan HPS dan spefikasi pada saat pemberiaan penjelasan, yaitu pada saat Peserta memberikan pertanyaan dan pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang benar dan harus dilakukan perubahan dokumen dan dituangkan dalam adendum dokumen, sesuai yang tercantum dalam Pasal 77 ayat 6 Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahanya.

Sebelumnya untuk lebih memberikan pemahaman yang lebih jelas ,  kita harus mengulas kembali tahapan tahapan sebelum dilakukannya persiapan  pemilihan penyedia barang dan jasa. 



















Khusus tahapan persiapan pengadaan barang/jasa terdiri atas 7 tahapan utama yang terdiri atas:
  1. Penyusunan RUP
  2. Penyusunan dan Penetapan RKA
  3. Pengumuman RUP
  4. Pengkajian Ulang RUP
  5. Penyusunan Rencana pelaksanaan Pengadaan
  6. Pengkajian Ulang Rencana Pelaksanaan Pengadaan
  7. Penyusunan Rencana Pemilihan Penyedia
Sebelum dilakukannya pelaksanaan pemilihan penyedia barang dan jasa, baik secara swakelola atau penyedia, maka tahapan awal Pokja melakukan beberapa pengkajian ulang sesuai 7 ( tujuh) tahapan diatas. Untuk itu mari kita mencoba mengulas tahapan demi tahapan .

KAJI ULANG RUP : Sesuai pasal 8 ayat 1 huruf a " PA memiliki tugas menetapkan Rencana Umum Pengadaan" dan huruf  b " PA mengumumkan Rencana Umum Pengadaan " Yang dinamakan Penetapan dan Pengumuman tentunya akan  berbicara awal yaitu dilakukannya penyusunan RUP ( angka 1 ). Apa saja yang menjadi bagian PA dalam penyusunan RUP tentunya diulas jelas Pada Perka 14 Tahun 2012 Juknis Pepres 70 Tahun 2012 diantaranya : 
  1. Indentifikasi dan analis kebutuhan
  2. Penyusunan dan Pentepan Rencana penganggaran
  3. Penetapan kebijakan Umum
  4. Penyusunan KAK
Setelah penyusunan RUP, maka PA mengumumkan RUP tersebut dan menyerahkannya kepada PPK ( Pejabat Pembuat Komitmen ). Pada saat inilah PPK kembali mengkaji ulang RUP tersebut bilamana menurut analis PPK harus dilakukan kajian ulang kembali RUP tersebut dengan mengundang Pokja bersama sama tim teknis PPK. Apa saja yang menjadi pengkajian ulang RUP tersebut, tentunya yang dikaji adalah hal hal yang berkaitan dengan awal PA melakukan penyusunan RUP, yaitu berapa contoh diantaranya:
  1. Pada saat indentifikasi kebutuhan : PPK bersama Pokja mengkaji apakah dalam mengidentifikas kebutuhan sudah sesuai dengan kebutuhan pengguna, kalau tidak maka Pokja dapat memberikan usulan ke PPK  , untuk menyampaikan ke PA, untuk merubah paket pekerjaan ( Pasal 11 ayat 2 huruf a )
  2. Pada saat Penyusunan dan Penetapan Rencana Penganggaran : PPK bersama pokja mengkaji apakah anggaran yang disusun sudah sesuai dengan kebutuhan pekerjaan, kalau tidak maka Pokja dapat mengusulkan kepada PPK untuk menyampaikan ke PA agar melakukan revisi dokumen anggaran.
  3. Pada saat penetapan kebijakan Umum : PPK bersama sama Pokja mengkaji apakah pemaketan pekerjaan sudah sesuai baik cara pengabungan pekerjaan atau pemecahan pekerjaan. Jika ada pemaketan pekerjaan yang tidak sesuai , maka Pokja dapat mengusulkan ke PPK untuk menyampaikan ke PA untuk merubah cara pemaketan pekerjaan.
  4. Pada saat Penyusunan KAK : PPK bersama sama Pokja mengkaji apakah waktu pelaksanaan sudah sesuai dengan waktu yang dibutuhkan, atau apakah spesifikasi tidak menyebabkan persaiangan yang tidak sehat. Jika ada yang tidak sesuai baik waktu ataupun spesifikasi, maka Pokja mengusulkan ke PPK untuk menyampaikan perubahan waktu pelksanaan dan spesifikasi.
Berdasarkan hasil rapat kordinasi/kajian ulang pembahasan RUP diatas, maka bilamana PPK tidak sependapat dengan Pokja, maka perubahan tersebut disampaikan ke PA untuk ditetapkan kembali dan putusan PA adalah Final. Nah tahapan pertama sudah dilakukan Pokja dan bagaimana tahapan selanjtnya setelah adanya penetapan atas kajian ulang pembahasan RUP dari PA? maka PPK melakukan penyusunan RPP atas dasar kajian ulang RUP yang telah dapat putusan final/ditetapkan olehh PA.

KAJI ULANG RPP : Sesuai Pasal 11 ayat 1 huruf a " PPK menetapkan Rencana pelaksanaan pengadaan " , Seperti halnya penetapan RUP, maka sebelum ditetapkanya, maka PPK terlebih awal melakukan penyusunan RPP. Apa saja yang menjadi bagian penyusunan RPP? mari kita ulas diantaranya adalah :
  1. Spesifikasi teknis
  2. HPS
  3. Rancangan Kontrak
PPK melakukan Penyusunan RPP berdasarkan dari hasil kajian rencana umum pengadaan. Pertanyaan awal adalah, mengapa PPK harus menyusun kembali speifikasi, HPS dan kontrak, padahal dalam RUP sudah jelas hal ini sudah dibahas? mari kita memahami apa itu RUP dan apa itu RPP. RUP adalah rencana umum pengadaan bukan rencana pelaksanaan pengadaan ( RPP ). Yang namanya rencana Umum pengadaan tentu bisa dikatakan masih bersifat rencana pengadaan /yang akan diadakan , dimana secara penyusunan masih bersifat umum ( mentahan ) atau hanya masih berbicara darimana anggaran didapatkan, bagaimana cara pemilihannya dan bagaimana spesifikasi yang diadakannya, atau nantinya bisa dilakukan perubahan paket pekerjaan atau perubahan anggaran bilama tidak sesuai dengan kebutuhan . Maka dari itu , bersumber dari RUP, maka PPK menyusun kembali spesifikasi, HPS dan rancangan kontrak secara spesifik sebelum dijadikan dasar untuk dokumen pemilihan penyedia barang dan jasa terhadap kebutuhan barang dan jasa yang dibutuhkan pengguna. pada saat penyusunan RPP, PPK setidaknya dituntut mampu memiliki dasar atau pengetahuan bagaimana cara merumuskan /menyusun HPS, spesifikasi dan rancangan kontrak, namun yang terjadi banyak sekali PPK melepas tugasnya/kewenangannya dan lebih percaya kepada orang lain/dalam kontruksi menggunakan output konsultan perencana dalam penyusunan HPS ataupun spesifikasi teknisnya.  Nah untuk bagaiamana cara menyusun HPS/Spek dan rancangan kontrak, akan saya tulis pada artikel selanjutnya termasuk SOP dan narasinya, karena tentu akan memakan waktu yang sangat banyak.
Kembali ke pembahasan, setelah RPP disusun oleh PKK, selanjutnya RPP tersebut diserahkan ke ULP dan Kepala ULP menyerahkan kembali kepada Pokja untuk diperiksa kelengkapannya. Pemeriksaan kelengkapan bertujuan memastikan, apakah ada dokumen RPP yang belom lengkap. Dalam hal dok RPP belum lengkap, maka Pokja meminta kelengkapan kembali kepada PPK.  setelah dok RPP lengkap , maka barulah Pokja mengundang PPK untuk melakukan kajian ulang pembahasan RPP. Tentunya yang dikaji adalah 3 hal yang menjadi dasar RPP, yaitu spesifikasi,HPS dan rancangan kontrak.
  1. Spesifikasi teknis : Pokja memastikan apakah spek yang disusun tidak menyebabkan persaiangan tidak sehat, atau apakah spek yang disusun sudah sesuai dengan kebutuhan, semisal pengadaan barang ( komputer ) apakah spek komputer yang disusun sesuai dengan komputer yang dibutuhkan dan dapat diikuti banyak peserta. Jika speknya mengarah atau tidak sesuai dengan kebutuhan, maka Pokja mengusulkan ke PPK merubah spek tersebut. Atau memastikan dalam hal PPK meminta persyaratan surat dukungan, apakah wajib mempersyaratkan surat dukungan terhadap barang yang terlalu umum dipasaran. Jika tidak wajib, maka Pokja dapat mengusulkannya.
  2. Harga perkiraan sendiri : Pokja memastikan apakah tanggal penetapan HPS sudah sesuai dengan yang diatur pasal 66 paling lama ditetapkan 28 hari kalender sebelom batas akhir  pemasukan penawaran, atau data data apa saja yang dipakai dasar PPK dalam penyusunan HPS. nah jika lebih dari 28 hari kalender maka Pokja mengusulkan ke PPK agar tanggal pentepan HPS di perbaharui lagi, dan untuk data hps sangat penting diminta, agar Pokja lebih mengetahui data harga mana yang dpakai PPK.
  3. Rancangan Kontrak : Pokja memastikan apakah perlunya jaminan pelaksanaan, bagaimana pengaturan dendanya , bagaimana SSKK nya dan terkait klausul kontrak lainnya. Semisal dalam rancangan kontrak SSKK PPK tidak mencantumkan uang muka dalam pekerjaan kontruksi, maka Pokja dapat mengusulkan pemberian uang muka pada pemenang. 
diatas adalah beberapa contoh pengkajian RPP yang nantinya dapat di tambahkan sesuai pekerjaan yang akan dikerjakan. Seperti halnya pada saat pengkajian RUP, maka dalam hal PPK menolak/tidak terjadi kesepakatan pendapat, maka Pokja ULP membuat surat permohonan keputusan RPP kepada PA untuk mendapatkan putusan final dan selanjutnya setelah mendapatkan putusan final PA, maka PPK sesuai pasal 11 ayat 1 menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan dan diserahkan ke Pokja untuk selanjutnya melakukan pemilihan penyedia.

PENJELASAN PEKERJAAN : Sesuai pasal 17 ayat 2 huruf b " Pokja menetapkan Dokumen pengadaan " dalam hal menetapkan dokumen pengadaan maka segala yang sudah ditetapkan dalam kajian ulang RPP, baik spesifikasi,HPS dan Rancangan kontrak wajib ternuat dalam dokumen pengadaan. Yang namanya dokumen pengadaan dimana dari awal sudah dikaji persyaratanya, bisa saja tidak dimengerti oleh peserta,atau akan terjadi perubahan spek dan harga tergantung kondisi saat pelelangan/pengadaan.  Maka dari itu sesuai pasal 77 ayat 1 " Pokja memperjelas dokumen pengadaan "  Yang namanya penjelasan, bukan berbicara menunggu pertanyaan dari peserta baru dijawab, namun subsantasinya adalah, Pokja memberikan penjelasan penjelasan terkait hal hal yang subsantasi dalam dokumen pengadaan. hal hal apa saja yang menggugurkan dan hal hal apa saja yang menajdi evaluasi penawaran.  Bilamana pada saat penjelasan terdapat pertanyaan peserta terkait pekerjaan ( contoh pengadaan barang ) , peserta menyatakan bahwa barang yang di minta sudah tidak lagi ada dipasaran/di produksi lagi atau dengan kondisi lain, adanya peningkatan harga karena mata uang dollar naik, maka Pokja ULP tidak dapat memutuskannya sendiri. Kewenangan Pokja hanya mengusulkan perubahan ( Pasal 17 ayat 3 ) terkait Spek barang yang sudah tidak diproduksi lagi/ Perubahan HPS terkait adanya perubahan mata uang dollar. terhadap usulan tadi makan sesuai pasal 77 ayat 6 " segala perubahan dokumen, baik kontrak, spek dan HPS maka harus mendapat persetujuan PPK sebelum dilakukan adendum dokumen pengadaan. 
Dan bilamana PPK juga tidak spendapat dengan usulan perubahan penjelasan, maka Pokja meminta keputusan PA, karena keptusan PA adalah final.

Nah dari ulasan diatas, semoga lebih dapat memperjelas apa apa saja yang menjadi peranan Pokja bai dalam melakukan kajian ulang dan penjelasan lelang. Selebihnya mohon dikoreksi dan ditambahkan.

" I Made Heriyana "